Selasa, 13 Oktober 2009

CEDERA KEPALA BERAT

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Di Indonesia Cedera Kepala merupakan penyebab kematian terbanyak usia 15 – 44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan. Di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan pembangunan frekuensinya cenderung makin meningkat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif, yaitu antara 15 – 44 tahun, dengan usia rata – rata sekitar tiga puluh tahun , dan lebih didominasi oleh kaum laki–laki dibandingkan kaum perempuan. Adapun penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas ( 49 % ) dan kemudian disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak – anak ).
Pada kehidupan sehari – hari cedera kepala adalah tantangan umum bagi kalangan medis untuk menghadapinya, di mana tampaknya keberlangsungan proses patofisiologis yang diungkapkan dengan segala terobosan investigasi diagnosik medis mutakhir cenderung bukanlah sesuatu yang sederhana. Berbagai istilah lama seperti kromosio dan kontusio kini sudah ditingalkan dan kalsifikasi cedera kepala lebih mengarah dalam aplikasi penanganan klinis dalam mencapai keberhasilan penanganan yang maksimal.
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan, tulang tengkorak , durameter, vaskuler otak, sampai jaringan otak sendiri. Baik berupa luka tertutup, maupun trauma tembus. Dengan pemahaman landasan biomekanisme -patofisiologi terperinci dari masing – masing proses di atas, yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan akurat, diharapkan dapat menekan morbilitas dan mortalitasnya.
Jenis beban mekanik yang menimpa kepala sangat bervariasi dan rumit. Pada garis besarnya dikelompokkan atas dua tipe yaitu beban statik dan beban dinamik. Beban statik timbul perlahan – lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan diterapkan pada kepala secara bertahap, hal ini bisa terjadi bila kepala mengalami gencetan atau efek tekanan yang lambat dan berlangsung dalam periode waktu yang lebih dari 200 mili detik. Dapat mengakibatkan terjadinya keretakan tulang, fraktur multiple, atau kominutiva tengkorak atau dasar tulang tengkorak.Biasanya koma atau defisit neurologik yang khas belum muncul, kecuali bila deformasi tengkorak hebat sekali sehingga menimbulkan kompresi dan distorsi jaringan otak, serta selanjutnya mengalami kerusakan yang fatal.
Mekanisme yang lebih umum adalah akibat beban dinamik, dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat ( kurang dari 200 mili detik). Beban ini dibagi menjadi beban guncangan dan beban benturan. Komplikasi kejadian ini dapat berupa hematom intrakranial, yang dapat menjadikan penderita cedera kepala derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk dalam suatu keadan yang gawat dan mengancam jiwanya.
Disatu pihak memang hanya sebagian saja kasus cedera kepala yang datang kerumah sakit berlanjut menjadi hematom, tetapi dilain pihak “ frekuensi hematom ini terdapat pada 75 % kasus yang datang sadar dan keluar menjadi lumpuh dan meninggal “.

B.Tujuan
1. Tujuan umum
Untuk menerapkan teori KDPK yang sudah didapat serta memperluas wawasan selama berada di RS. Sari mulia

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui masalah kesehatan yang sering dialami masyarakat dan penangan yang
akan dilakukan.
b. Belajar untuk memberikan pelayanan kepada pasien secara komprehensif
c. Mengetahui bagaimana penanganan yang dibutuhkan pasien
d. Mengetahui keadaan fisiologis klien yang berbeda-beda
e. Mengetahui dan mengkaji keadaan pasien yang dirawat di RS.Sari mulia

C.Manfaat
1. Manfaat teoritis
Kita menerapkan teori dan memberikan tindakan dan pengkajian sesuai masalah yaitu Cedera Kepala
2. Manfaat praktik
Kita dapat mengasah keterampilan terutama KDPK dengan masalah Cedera Kepala sehingga jika menemukan masalah dapat memberikan penangan dengan baik dikemudian hari.


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.Pengertian
Cedera Kepala adalah gangguan traumatik dari fungsi otak, tanpa atau diikuti terputusnya kontinuitas otak dan dapat mengakibatkan kematian dan kecacatan pada manusia.

B.Etiologi
Etiologi utama dari cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas, trauma benda tajam dan benda tumpul, kejatuhan benda berat, kecelakaan industri.

C.Patofisiologi
Trauma pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam. Cedera
yang disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah setempat atau lokal dan cedera yang disebabkan oleh benda tumpul memberikan kekuatan dan menyebar ke area sekitar cedera sehingga kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas. Berat ringannya cedera tergantung pada lokasi benturan, penyerta cedera, kekuatan benturan dan rotasi saat cedera.

Perdarahan Intra Kranial
1 Meninges dan Vasa Darah Otak
a. Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater, arachnoidea dan piamater.
1). Duramater
Merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae.Diantara dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus ( venosus ) duramatris.
2). Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus / fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit diluar duramater disebut spatium epidurale.Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS ke sinus venosus.

3). Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap masuknya senyawa yang membahayakan.

b. Vasa Darah otak
1) Epidural Hematoma
a). Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95%
kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.(1,3,5)

Gambar CT SCAN Epidural hematom

b). Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
 Trauma kepala
 Sobekan a/v meningea mediana
 Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
 Ruptur v diplorica
c). Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi
 Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
 Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam – 7 hari
 Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7
d). Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
e). Gejala klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
1. Interval lusid (interval bebas)
Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
f). Terapi
Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan.
Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru.
 Trepanasi –kraniotomi, evakuasi hematom
 Kraniotomi-evakuasi hematom
g). Komplikasi Dan Outcome
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :
Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial, Kompresi batang otak – meninggal.
Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu :
 Mortalitas 20% -30%
 Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%
 Sembuh tanpa defisit neurologik
 Hidup dalam kondisi status vegetatif


2). Subdural Hematoma
a). Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Gambar CT SCAN Subdural hematom
b). Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
c). Klasifikasi
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih,lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.


2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bias.menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
d). Patofisiologi
Vena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

e). Gejala klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
f). Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).
g). Komplikasi Dan Outcome
Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :
1. Hemiparese/hemiplegia.
2. Disfasia/afasia
3. Epilepsi.
4. Hidrosepalus.
5. Subdural empiema
Sedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :
1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%
2. Pada sub dural hematom kronis :
- Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.
- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.




3). Intraserebral Hematom
a). Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).


Gambar CT SCAN Intraserebral hematom
b). Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurism
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
c). Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
d). Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.
e). Gejala klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak .Kriteria diagnosis hematom supra tentorial,nyeri kepala mendadak ,penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi ;
- Hemiparesis / hemiplegi.
- Hemisensorik.
- Hemi anopsia homonim
- Parese nervus III.
f). Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa


D.Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan cedera kepala yaitu : gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, defisit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, mual dan muntah, vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran.

E.Klasifikasi Cedera Kepala
1).Komosio cerebri/cedera kepala ringan/mild head injury gangguan fungsi neurologi ringan yang terjadi sesaat, dengan gejala hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit, tidak mengalami gangguan orientasi, mual, muntah, nyeri kepala, GCS 13-15, dan tanpa adanya kerusakan struktur otak.
2).Cedera kepala sedang/moderate head injury, gangguan fungsi neurologik ditandai dengan hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit sampai dengan 2-5 jam, pasien mengalami disorientasi ringan, mual, muntah, GCS 9-12 disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas oatk masih utuh.
3).Kontusio cerebri/cedera kepala berat/severe head injury, ditandai dengan hilangnya kesadaran lebih dari 24 jam, pasien mengalami disorientasi berat, GCS kurang dari 9, otak mengalami memar, laserasi dan haemoragik.

F.Komplikasi
Komplikasi dari cedera kepala meliputi edema pulmonal, kejang, infeksi, bocor cairan otak, hipertermia, masalah mobilisasi.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada trauma kepala, bila ada peningkatan tekanan intraktranial (TIK) diatasi dengan mempertahankan oksigensasi adekuat, pemberian obat anti edema manitol, hiperventilasi, penggunaan steroid, kemungkinan intervensi bedah neuro, pemberian analgetik dan antibiotika untuk infeksi anaerob.



H. Asuhan Keperawatan
1). Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan system persyarafan berhubungan dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
a). Identitas pasien
b). Riwayat kesehatan
Pada umumnya pasien cedera kepala datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, bingung, muntah, sakit kepala, luka di kepala, akumulasi sputum, liguor dari hidung dan telinga.
c). Pemeriksaan fisik
- Aspek neurologis : tingkat kesadaran, disorientasi orang / tempat, perubahan TTV, kejang, gangguan nervus.
- Aspek kardiovaskuler, tekanan darah menurun, apabila terjadi peningkatan TIK, maka tekanan darh meningkat, nadi bradikardi, kemudian takikardi, irama tidak teratur.
- Aspek sistem pernafasan, perubahan pola nafas, irama dan kedalaman, adanya sekret pada trakheobronkhiolus.
- Aspek sistem eliminasi : retensi/inkontinensia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
- Aspek sistem gastrointestinal : kaji tanda-tanda penurunan fungsi pencernaan, mual dan muntah.
d). Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa cedera kepala antara lain dengan X-Ray, CT Scan, Angiografi.
e). Penatalaksanaan medis
Dexamethosone/kalmethasone sebagai pengobatan anti edema serebral, pemberian analgetika, pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol, antibiotik untuk infeksi anerob, makanan cair/bubur bila klien mual.



BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tilang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelarasi-decelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada perccepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran tindakan pencegahan. (dari buku Simposium Keperawatan Penderita Cedera kepala)

B. Etiologi
Cedera Kepala Berat Disebabkan oleh Kecelakaan Lalu lintas

C. Patofisiologi
Otak dapat berfungdi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen. Jadi kekurangan aliran darah keotak walaupun sebentar akan meyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dan seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia., tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolism anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60 ml/menit/100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya pendarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol tidak begitu besar. ( dari buku Simposium Keperawatan Penderita Cedera kepala)


1. Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
1) Gegar kepala ringan
2) Memar otak
3) Laserasi
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala seperti ini :
1) Hipotensi sistemik
2) Hipoksia
3) Hiperkapnia
4) Uderma otak
5) Komplikasi pernapasan
6) Infeksi/ komlikasi pada organ tubuh yang lain.

2. Perdarahan yang ditemukan pasien pada cedera kepala berat
a. Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan durameter akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningael media yang terdapat di durameter, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering Yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi :
Penurunan tingkst kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
b. Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter, pendarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48-2hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejala adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan udem pupil.
Pendarahan intracerebral berupa pendarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; vena; kapiler.
Tanda dan gejalanya :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
c. Pendarahan Subarachnoid
Pendarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hamper selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral, dan kaku kuduk.

D. Tanda dan Gejala
klien dengan cedera kepala telah mengalami gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, perubahan tanda-tanda vital, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran.

E. Klasifikasi
Kontusio cerebri/cedera kepala berat/severe head injury, ditandai dengan hilangnya kesadaran lebih dari 24 jam, pasien mengalami disorientasi berat, GCS kurang dari 9, otak mengalami memar, laserasi dan haemoragik.

F. Komplikasi
Komplikasi Pasien meliputi: Odem pulmoonal,pola nafas tidak efektif,mucus yang produktif, masalah mobilisasi

G. Penatalaksanaan
Pemberian obat anti oedema ,pemberian analgetik dan antibiotic. Seperti : Trixon, Lactor, Acron, Corsona, Resibron, Aminophilin.





H. Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif dan objektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut
a. Identitas klien dan keluarga (penangung jawab) : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, wajah simetris/tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subjektif data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
c. Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
d. Pemeriksaan Penunjang
1) CT-scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan ventikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infrak/iskemia jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
2) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3) Cerebral Angiography : Menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan pada jaringan otak sekunder menjadi udema, pendarahan dan trauma.
4) Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5) X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (pendarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER : mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
7) PET : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8) CSF, Lumbai Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi pendarahan subarachnoid.
9) ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
10) Kadar Elektrolit : Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.
11) Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

Penatalaksanaan
Konsevatif :
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
• Obsevasi tanda-tanda vital (GCS dan peningkatan kesadaran)

Prioritas perawatan :
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal/mengembalikan ke fungsi normal.
4. Mendukung prose pemulihan koping klien/keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

Tujuan
1. Fungsi otak membaik : deficit neurologis berkurang/tetap.
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi sendiri atau dibantu orang lain.
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai sumber informasi.

2. DIAGNOSA PERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :
a. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan uden otak
b. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.
c. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
d. Kecemasan Keluarga
e. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi tidak adekuatnya sirkulasi perifer
f. Keterbatasan aktivitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporoscoma)

3. INTERVENSI
a. Keefektifan perfusi jarinagn cerebral sehubungan dengan oedem jaringan cerebral, penurunan perfusi sistemik atau hilangnya perfusi cerebral.
Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial .
Rencana tindakan
Monitor dan catat status neuorologis dengan menggunakan metode GCS.
Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh syaraf cranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit
Peningkatan sitolik dan penurunan diastolic serta penurunan tingkat kesdaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.


Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Hindari batuk yang berlebih, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran, urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Dapat mencetus respon otomatik peningkatan intrakranial.

Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Beikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.

Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi atau kimia seperti osmotic dititik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negative dari peningkatan tekanan intrakranial. Antiporetik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

b. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan alkalosis respiratorik.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot Bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada gas dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan respiratorik.
2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
4) Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi/ cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuat pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara tidak adekuat.
6) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu memberikan ventilasi yamg adekuat bila ada gangguan pad ventilator.

c. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan mucus yang produktif .
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi.
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara secret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme, atau masalah terhadap tube.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam). Pergerakan yang simetris dan suara napad yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tiadak adanya penumpukan sputum.
3) Lakukan persiapan lender dengan persiapan waktu kuran gdari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
4) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

d. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
Tujuan :
Kecemasan keluarga dapat berkurang.
Kriteria evaluasi :
Eksperesi wajah tidak menunjang adanya kecemasan.
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan, dan tindakan meningkat.
Rencana tindakan :
• Bina hubungan saling percaya
Untuk membina hubungan terpiutik perawat-keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga merasa diperhatikan.
• Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidaktahuaan
• Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan hubungan pasien dan keluarga.
• Berikan dorongan spiritual untuk keluarga
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi kritis.

e. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi.
Rencana tindakan :
• Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi parifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
• Kaji kulit pasien setiap 3 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
• Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
• Ganti posisi pasiensetiap 2 jam
 Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahj\kan terjadinya kerusakan kulit.
 Masage dengan lembut diatas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
 Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
 Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
 Bagian perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4-8 jam dengan menggunakan H2O2.

f. Intolerasi aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporoscoma)
Tujuan
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan oksigen adekuat.
Rencana tindakan :
Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang bersih dan aman.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien- keluarga.
Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.












BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil praktik yang kami lakukan di RS.Sari Mulia dapat ditarik kesimpulan bahwa Cedera Kepala Berat adalah gangguan traumatik dari fungsi otak, tanpa atau diikuti terputusnya kontinuitas otak dan dapat mengakibatkan kematian dan kecacatan pada manusia biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, trauma benda tajam, kejatuhan benda berat, dan kecelakaan industry.

B. SARAN
1) Hendaknya kita lebih menjaga kesehatan
2) Hendaknya kita mempraktikan dan menerapkan pola hidup sehat
3) Sebaiknya jika hendak berpergian yang paling utama lindungi kepala jika menggunakan sepeda motor dengan memakai helm pelindung.

Dalam melakukan praktik dan memberikan pelayanan kesehatan sarana dan prasarana harus lengkap agar memudahkan tindakan dan pelayanan yang memuaskan dan jangan sampai pasien merasa tidak nyaman atas pelayanan kesehatan yang diberikan.