Kamis, 22 Desember 2011

KONSEP DASAR NYERI


KONSEP DASAR NYERI



Pengertian nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.



Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)


Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual



4) Skala nyeri menurut bourbanis



Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

sumber
Priharjo, R (1993). Perawatan Nyeri, pemenuhan aktivitas istirahat. Jakarta : EGC hal : 87.
Shone, N. (1995). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan. Hlm : 76-80
Ramali. A. (2000). Kamus Kedokteran : Arti dan Keterangan Istilah. Jakarta : Djambatan.
Syaifuddin. (1997). Anatomi fisiologi untuk siswa perawat.edisi-2. Jakarta : EGC. Hlm : 123-136.
Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
Potter. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC. Hlm 1502-1533.

 

KONSEP UMUM NYERI

1. Pengertian 
Nyeri merupakan sesasi tidak enak, nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis, nyeri secara umum didefinisikan sebagai suatu rasa tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo,1998:3).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis, nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat, misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen. Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama. Nyeri juga dinyatakan sebagai nyeri somatogenik atau psikogenik, nyeri somatogenik merupakan nyeri secara fisik, sedangkan nyeri psikogenik merupakan nyeri psikis atau mental.


2. Teori
a. Teori kekhususan (Teori Specifity)
Ujung saraf spesifik berkorelasi dengan sensasi yang spesifik seperti sentuhan, hangat, dingin atau nyeri. Sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf bebas oleh mekanikal, rangsangan nyeri.
b. Teori intensitas
Hasil dari rangsangan yang berlebihan pada reseptor setiap rangsagn sensasi punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika menggunakan intensitas yang cukup. 
c. Teori Kontrol pintu (the gate control theory)
Serabut saraf tebal dan tipis membentuk sinar pada cornus sebagai pintu gerbang rangsangan yang mencapai otak.


3. Fisiologi

Suatu teori yang menjelaskan nyeri sebagai suatu mekanisme relatif sederhana yang menjelaskan bahwa respon nyeri timbul apabila suatu stimulus nyeri mengaktivasi reseptor nyeri (Priharjo, 1998:34).

Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung saraf yang bebas tidak bermyelin dan neuron aferen. Informasi dari reseptor nyeri mencapai sistem saraf sentral melalui serabut saraf asandan, bila informasi telah sampai dithalamus maka seseorang akan merasakan adanya suatu sensasi serta mempelajari tentang lokasi dan kekuatan stimulus. Bila informasi telah sampai pada kortek serebri maka seseorang menjadi lebih terlibat dengan sensasi nyeri, mencoba menginterpretasikan arti nyeri dan mencari cara untuk menghindari sensasi lebih lanjut.
Serabut saraf yang menghantarkan nyeri :
a. Serabut saraf tipe delta
Mengirimkan sinyal relatif cepat 12-30 m/s, bermyelin halus 2,5 mm, membawa rangsangan nyeri menusuk, serabut berakhir dicornu dorsalis dilamina I.
b. Serabut tipe c
Membawa rangsang nyeri terbakar dan tumpul, relatif lebih lambat 0,5-2 m/s, tidak bermyelin 0,4-1,2 mm, serabut berakhir dilamina IV dan V.


4. Stimulus

Reseptor nyeri memberi respon terhadap stimulus yang membahayakan seperti stimulus kimia termal, listrik atau mekanis, maupun mikroorganisme baik yang berasal dari dalam maupun luar tubuh (Priharjo,1998:35).Stimulus kimia terhadap nyeri yaitu histamin, bradikinin, prostaglandin, bermacam-macam asam.


5. Faktor-faktor yang mempengaruhi 

Ujung saraf spesifik berkorelasi dengan sensasi yang spesifik seperti sentuhan, hangat, dingin atau nyeri. Sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf bebas oleh mekanikal, rangsangan nyeri.

a. Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan misalnya, kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian.
b. Umur 
Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertumbuhan usia, misalnya semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.
c. Kelelahan 
Kelelahan juga dapat meningkatkan nyeri dan usaha banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur.
d. Riwayat sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah
Riwayat sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah berpengaruh pula terhadap seseorang dalam mengatasi nyeri. Misalnya, ada beberapa kalangan yang menganggap nyeri sebagai kutukan.
e. Tersedianya orang-orang yang memberi dukungan
Tersedianya orang-orang yang memberi dukungan sangat berguna bagi seseorang dalam menghadapi nyeri, misalnya anak-anak akan merasa lebih nyaman bila dekat dengan orang tuanya.



6. Respon perilaku terhadap nyeri

Ekspresi wajah mengatupkan geraham, menggigit bibir, meringis, aphasia, bingung dan disorentasi.


TENTANG NYERI 

  Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama proses penyakit, pemeriksaan diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan banyak orang. Perawat tidak bisa melihat dan merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri). Perawat memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Kolcaba yang mengatakan bahwa kenyamanan adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.

A   DEFINISI
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa nyeri adalah sensori spesifik yang muncul karena adanya injury dan informasi ini didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf nyeri perifer dan spesifik di spinal cord
Secara umum keperawatan mendefinisikan nyeri sebagai apapun yg menyakitkan tubuh yg dikatakan individu yg mengalaminya, yg ada kapanpun individu mengatakannya  

ISTILAH DALAM NYERI
Nosiseptor             : serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri
Non-nosiseptor      : serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri
System nosiseptif   : system yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri
Ambang nyeri        : stimulus yg paling kecil yg akan menimbulkan nyeri
Toleransi nyeri      : intensitas maksimum/durasi nyeri yg individu ingin untuk dpt ditahan

SIFAT-SIFAT NYERI

  • Nyeri melelahkan dan membutuhkan banyak energi
  • Nyeri bersifat subyektif dan individual
  • Nyeri tak dapat dinilai secara objektif seperti sinar X atau lab darah
     Perawat hanya dapat mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku dan dari pernyataan klien
  • Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri timbul dan seperti apa rasanya
  • Nyeri merupakan mekanisme pertahanan fisiologis
  • Nyeri merupakan tanda peringatan adanya kerusakan jaringan
  • Nyeri mengawali ketidakmampuan
§         Persepsi yang salah tentang nyeri menyebabkan manajemen nyeri jadi tidak optimal
Secara ringkas, Mahon  mengemukakan atribut nyeri sebagai berikut:

  • Nyeri bersifat individu
  • Nyeri tidak menyenangkan
  • Merupakan suatu kekuatan yg mendominasi
  • Bersifat tidak berkesudahan
FISIOLOGI NYERI
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3 (tiga) komponen fisiologis berikut ini:

  • Resepsi        : proses perjalanan nyeri
  • Persepsi       : kesadaran seseorang terhadap nyeri
  • Reaksi          : respon fisiologis & perilaku setelah mempersepsikan nyeri
§ 
  

RESEPSI 

Stimulus (mekanik, termal, kimia) à Pengeluaran histamin bradikinin, kalium, à Nosiseptor à Impuls syaraf à Serabut syaraf perifer à Kornu dorsalis medulla spinalis à Neurotransmiter (substansi P)à Pusat syaraf di otak àRespon reflek protektif

Adanya stimulus yang mengenai tubuh (mekanik, termal, kimia) akan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls syaraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut syaraf  perifer yang akan membawa impuls syaraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C. impuls syaraf akan di bawa sepanjang serabut syaraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls syaraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neurotrasmiter (substansi P). Substansi P  ini menyebabkan transmisi  sinapis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls syaraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam system saraf pusat. Setelah impuls syaraf sampai di otak, otak mengolah impuls syaraf kemudian akan timbul respon reflek protektif.

Contoh:
Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan menarik tangan dari permukaan setrika.
Proses ini akan berjalan jika system saraf perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal. Ada beberapa factor yang menggangu proses resepsi nyeri, diantaranya sebagai berikut:

  • §Trauma
  • § Obat-obatan
  • § Pertumbuhan tumor
  • Gangguan metabolic (penyakit diabetes mellitus) 
  

Tipe serabut saraf perifer

Serabut saraf A-delta :
§    Merupakan serabut bermyelin
§    Mengirimkan pesan secara cepat
§    Menghantarkan sensasi yang tajam, jelas sumber dan lokasi nyerinya
§    Reseptor berupa ujung-ujung saraf bebas di kulit dan struktur dalam seperti , otot tendon dll
§    Biasanya sering ada pada injury akut
§    Diameternya besar

Serabut saraf C
§    Tidak bermyelin
§    Diameternya sangat kecil
§    Lambat dalam menghantarkan impuls
§    Lokasinya jarang, biasanya dipermukaan dan impulsnya bersifat persisten
§    Menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu hangat, dan tekanan halus
§    Reseptor terletak distruktur permukaan.

NEUROREGULATOR
§  Substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, berperan penting pada pengalaman nyeri
§  Substansi ini titemukan pada nocicepåtor yaitu pada akhir saraf dalam kornu dorsalis medula spinalis dan
    pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik
§      Neuroregulator ada dua macam yaitu neurotransmitter dan neuromodulator

§   Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara dua serabut saraf
     contoh: substansi P, serotonin, prostaglandin
§  Neuromodulator memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentrasfer secara langsung sinyal saraf yang melalui synaps.
    Contoh: endorphin, bradikinin
§  Neuromodulator diyakini aktifitasnya secara tidak langsung bisa meningkatkan atau menurunkan efek sebagian neurotransmitter

Teori gate control
n   Dikemukanan oleh Melzack dan wall pada tahun 1965
n  Teori ini mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat.
n  Dalam teori ini dijelaskan bahwa Substansi gelatinosa (SG) yg ada pada bagian ujung dorsal serabut saraf spinal cord mempunyai peran sebagai pintu gerbang (gating Mechanism), mekanisme gate control ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi nyeri yang datang sebelum mereka sampai di korteks serebri dan menimbulkan nyeri.
n  Impuls nyeri bisa lewat jika pintu gerbang terbuka dan impuls akan di blok ketika pintu gerbang tertutup
n  Menutupnya pintu gerbang merupakan dasar terapi mengatasi nyeri
n  Berdasarkan teori ini perawat bisa menggunakannya untuk memanage nyeri pasien
n  Neuromodulator bisa menutup pintu gerbang dengan cara menghambat pembentukan substansi P.
n  Menurut teori ini, tindakan massase diyakini  bisa menutup gerbang nyeri.

PERSEPSI
§   Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang komplek.
§   Persepsi menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu dapat bereaksi
§   Proses persepsi secara ringkas adalah sebagai berikut:
Stimulus nyeri à Medula spinalis àTalamus à Otak (area limbik)  Reaksi emosi à  Pusat otak à Persepsi

       Stimulus nyeri ditransmisikan ke medula spinalis, naik ke talamus, selanjutnya serabut mentrasmisikan nyeri ke seluruh bagian otak, termasuk area limbik. Area ini mengandung sel-sel yang  yang bisa mengontrol emosi (khususnya ansietas). Area limbik yang akan berperan dalam memproses reaksi emosi terhadap nyeri. Setelah transmisi syaraf berakhir di pusat otak, maka individu akan mempersepsikan nyeri.



ASMA DALAM KEHAMILAN


ASMA DALAM KEHAMILAN
PENDAHULUAN
Asma terdapat 3,4 – 8,4 % pada wanita hamil dan gangguan nafas sangat sering terjadi pada wanita hamil. Perjalanan asma selama kehamilan sangatlah bervariasi bisa tidak ada perubahan, bertambah buruk atau malah membaik dan akan kembali ke kondisi seperti sebelum hamil setelah tiga bulan melahirkan(2)(9). Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seseorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan muncul pada usia kehamilan 24 – 36 minggu, dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pada asma yang tidak terkontrol selama kehamilan akan mempunyai efek yang serius baik bagi ibu maupun bagi janin. Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan pre-eklampsia, eklampsia, perdarahan vagina dan persalinan premature, sedangkan komplikasi terhadap bayi adalah intra uterine growth retardation, bayi premature dan meningkatkan kemungkinan resiko kematian perinatal. Oleh karenanya pasien hamil dengan asma harus dianggap sebagai pasien dengan kehamilan resiko tinggi. Tujuan penatalaksanaan pasien asma dalam kehamilan harus meliputi : pencegahan eksaserbasi akut, mengontrol symptoms, mengurangi inflamasi saluran nafas, memelihara fungsi paru rata – rata mendekati normal.


DEFINISI
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat


PATOFISIOLOGI
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas dan peradangan berhubungan dengan gen pada kromosom 5, 6, 11, 12, 14, & 16 termasuk reseptor IgE yang afinitasnya tinggi, kelompok gen sitokin dan reseptor antigen T-cell sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga. Aktifitas sel mast oleh sitokin menjadi media konstriksi bronkus dengan lepasnya histamine, prostaglandin D2 dan leukotrienes. Karena prostaglandin seri F dan ergonovine dapat menjadikan asma, maka penggunaannya sebagai obat – obat dibidang obstetric sebaiknya dapat dihindari jika memungkinkan.



PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.


2. Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.

Adapun tingkatan klinik asma dapat dilihat pada table berikut dibawah ini
Tingkatan PO2 PCO2 pH FEV1
(% predicted)
Alkalosis respiratori sedang Normal ↓ ↑ 65 – 80
Alkalosis respiratori ↓ ↓ ↑ 50 – 64
Tingkat waspada ↓ Normal Normal 35 – 49
Asidosis respiratori ↓ ↑ ↓ < 35

Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi, sebagai refleksi dari PO2 arteri normal, menurunnya PCO2 dan alkalosis respiratori. Akibat penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena fatigue menjadikan retensi CO2.Pada hiperventilasi, keadaan ini hanya dapat dilihat sebagai PCO2 arteri yang berubah menjadi normal. Akhirnya pada obstruksi berat yang terjadikegagalan pernafasan dengan karakteristik hiperkapnia dan asidemia.
Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiapa awal derajat tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya. Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.


3. Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC).


4. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
a. Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam.

b. Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.

c. Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan


PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah.
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.
Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.


EFEK PADA FETUS
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri


Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output

Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan membahayakan fetus.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma.

PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA
  • Perubahan fisiologis selama kehamilan
Tujuan utama pemeliharaan pada wanita hamil penderita asma adalah oksigen yang adekuat untuk ibu dan janin terutama saat proses kelahiran.
  • Endocrine
Terjadi perubahan pada level estrogen, progesterone dan kortisol. Dimana hormone estrogen meningkat tinggi pada trimester pertama, peningkatan estrogen merangsang pembentukan sel darah merah terjadi kenaikan volume darah untuk memperdarahi uterus dan janin.
Progesteron meningkat pada trimester pertama, peningkatan ini menstimulasi pusat pernafasan dan relaksasi otot polos vascular. Namun progesterone tidak menyebabkan relaksasi otot polos bronchus.

  • Kardiovaskular
Volume darah meningkat sebagai respon dari peningkatan plasma volume dan sel darah merah. Peningkatan sel darah merah tidak sebanyak volume plasma yang mengakibatkan anemia.
Kardiak Output meningkat dan denyut jantung bertambah 10 -20 denyut per menit. Range perubahan kardiak output ini berkisar 30-60% yang artinya perubahan kardiak output ini juga dipengaruhi posisi.

  • Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan juga mengalami perubahan selama kehamilan baik anatomi dan fisiologi. Perubahan ini meliputi penyesuaian dinding dada, kenaikan diafragma, progesterone menginduksi pusat pernafasan. Perubahan ini menyebabkan perubahan ukuran fungsi dari paru – paru(3). Peningkatan nilai Pa O2 (100 – 105 mmHg) dan penurunan Pa CO2 (32 – 34 mmHg) adalah akibat dari peningkatan ventilasi semenit selama kehamilan. Peningkatan ini karena efek dari peningkatan progesteron yang menstimulasi kontrol pusat pernafasan. Untuk mempertahankan pH oleh karena respiratori alkalosis dilakukan kompensasi ginjal dengan peningkatan ekskresi bikarbonat. Perubahan ini mempunyai arti klinis yang penting. Nilai Pa O2 70 mmHg dan nilai Pa CO2 35 mmHg atau lebih menandakan asma yang lebih berat pada wanita hamil dibandingkan penderita asma yang tidak hamil dan menandakan adanya gagal nafas selama kehamilan. Nilai abnormal spirometri selama kahamilan harus dihubungkan dengan kelainan paru bukan karena kehamilan. Sesak nafas atau rasa berat bernafas pada saat istirahat atau bekerja terjadi pada 80 – 90% wanita hamil dengan umur kehamilan 30 minggu. Mekanisme ini belum jelas tapi kemungkinan karena peningkatan terhadap pusat pernafasan. Adalah sangat penting untuk membedakan antara proses fisiologis sesak nafas pada kehamilan dan sesak nafas patologis.


PENGARUH KEHAMILAN TERHADAP ASMA
Kehamilan mempunyai efek yang bervariasi terhadap beratnya asma. Asma selama kehamilan dapat membaik pada 1/3 wanita hamil penderita asma, tidak berubah pada 1/3 wanita, dan memburuk pada 1/3 sisanya. Faktor yang menyebabkan terjadinya variasi derajat asma selama kehamilan meliputi peningkatan sirkulasi kortisol bebas, penurunan irama bronkomotor dan peningkatan konsentrasi adenosin monofosfat di dalam plasma. Perubahan ini, dalam keadaan normal dapat menyebabkan perbaikan derajat asma, tetapi dengan adanya faktor-faktor lain dalam kehamilan seperti paparan antigen janin dan perubahan imunitas seluler, maka keadaan ini dapat memperburuk gejala asma.
Gejala asma akan membaik selama 4 minggu terakhir kehamilan (37 – 40 minggu), mungkin disebabkan peningkatan kortisol bebas dan karena turunnya janin kedalam panggul. Sedangkan gejala yang paling buruk terjadi pada 29 – 36 minggu kehamilan, karena pada saat ini progesteron berada pada kadar tertinggi. Selama melahirkan dan sesudah lahir hanya 10% pasien yang dilaporkan memberikan gejala dan hanya setengahnya yang mendapat pengobatan.


TERAPI
Kesuksesan manajemen asma selama kehamilan membutuhkan kerjasama antara ahli obstetri, bidan, dokter dan perawat khusus asma dan pasien sendiri. Terapi farmakologi asma selama kehamilan tidak mempunyai perbedaan dengan terapi asma pada wanita yang tidak hamil.
Idealnya, selama kehamilan adalah tidak menggunakan terapi obat-obatan terutama selama trimester pertama karena dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital. Edukasi dan pencegahan lebih diutamakan untuk pasien asma dalam kehamilan. Kelainan genetik dan kromosom terdapat pada 25% dari kelainan kongenital. Sekitar 1% dari seluruh kelainan kongenital berhubungan dengan pemakaian obat-obatan. Penyebab 65% kelainan kongenital belum diketahui.


Obat-obatan Spesifik Asma selama Kehamilan.
a. Pengobatan Profilaksis
Beklometason dianjurkan sebagai pilihan kortikosteroid inhalasi selama kehamilan karena pengalaman yang lebih banyak dalam penggunaannya yang telah dipublikasikan. Ini disebabkan karena tidak ditemukannya kelainan teratogenik pada bayi dari ibu hamil yang menggunakannya, walaupun efek teratogenik pada hewan ditemukan. Selain itu, buesonid juga dapat diberikan sebagai pilihan untuk wanita hamil.


b. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan kepada pasien asma untuk pengobatan asma berat selama kehamilan. Walaupun demikian kemungkinan terjadinya efek yang merugikan harus tetap diperhatikan. Pada penelitian hewan ditemukan adanya efek teratogenik berupa oral cleft. Pada suatu penelitian case controle 20.830 bayi dengan kelainan kongenital didapatkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap pemberian kortikosteroid pada wanita hamil yang mendapat bayi dengan kelainan dan yang tidak mendapat kelainan.
Jika membutuhkan kortikosteroid sistemik, dianjurkan pemberian prednison atau metilprednisolon karena preparat ini dimetabolisme di plasenta dan hanya 10% obat aktif yang dapat mencapai janin. Pada penelitian lain dinyatakan bahwa prednison dengan dosis 10 mg selama kehamilan berhubungan dengan berat badan lahir rendah (BBLR), tetapi prednison 5 – 10 mg untuk waktu singkat pada kehamilan kurang dari 24 minggu tidak. Disimpulkan kortikosteroid sistemik hendaklah dipergunakan secara selektif, hanya untuk kasus asma berat dan tidak digunakan secara kontiniu, disebabkan efek samping dari pemberian kortikosteroid sistemik yaitu preeklampsi, prematur, berat badan lahir rendah dan kelainan kongenital berupa oral cleft selama trimester pertama kehamilan.


c. Bronkodilator  :
1. β2 Agonis
Tidak terbukti adanya resiko teratogenik pada penggunaan secara sering inhalasi β2 agonis. Meta-proteronol, terbutalin dan albuterol dilaporkan obat-obat yang paling sering digunakan.
β2 agonis oral secara umum tidak dianjurkan selama kehamilan, karena terbatasnya data selama kehamilan dini, dapat menghambat persalinan pada masa aterm karena efek relaksasi otot rahim dan efek samping dibandingkan penggunaan secara inhalasi. Walaupun demikian jika diperlukan terbutalin direkomendasikan.
Penggunaan salbutamol intra vena dapat menghambat persalinan, keadaan ini tidak terjadi pada pemberian secara MDI atau nebulasi.
Salmeterol termasuk β2 agonis long acting dan belum diteliti secara intensif pada wanita hamil. Walaupun demikian salmeterol dapat dipakai sebagai alternatif pengganti teofilin pada pasien hamil yang tidak dapat dikontrol dengan dosis sedang kortikosteroid inhalasi.


2. Antikolinergik
Contoh dari obat ini adalah ipratropium bromide. Walaupun sedikit pengalaman dengan obat ini, kelihatannya obat ini aman digunakan selama kehamilan. Ipratropium bromide dapat digunakan pada wanita hamil dengan asma yang tidak memberikan respon terhadap terapi dengan β2 agonis. Ini karena obat ini diabsorbsi dengan buruk dengan penggunaan inhalasi dan tidak pernah diketahui menyebabkan terjadinya kelainan kongenital.


3. Teofilin
Penggunaan teofilin tidak berhubungan dengan adanya malformasi kongenital atau kematian janin walaupun dilaporkan 3 kematian bayi dari ibu yang diterapi dengan teofilin menunjukkan kelainan kongenital jantung. Beberapa penelitian mengindikasikan adanya hubungan antara penggunaan teofilin dengan resiko terjadinya kelahiran preterm, kelainan kongenital dan preeklampsi, sementara penelitian-penelitian lain tidak mendapatkan adanya hubungan.
Kerugian teofilin yaitu :

  • Dapat menimbulkan nausea pada awal kehamilan dan gastroesofageal refluks pada akhir kehamilan.
  • Dapat terjadi hipertensi dalam kehamilan dan prematur.
  • Menghalangi persalinan.
  • Toksis terhadap neonatus melalui plasenta.
4. Antibiotik
Antibiotik kemungkinan diperlukan untuk pengobatan infeksi oleh bakteri pada penderita asma selama kehamilan. Penisilin, eritromisin dan sefalosporin aman digunakan selama kehamilan

Kategori Frekuensi/Beratnya Gejala Fungsi Paru Tahapan Terapi :
a. Mild Intermittent Ø Gejala < 2 kali per minggu
- Gejala malam < 2 kali per bulan
- Eksaserbasi singkat (hingga beberapa hari)
- Asimptomatik
diantara episode serangan ≥ 80%(Fungsi paru normal diantara serangan) Inhalasi β2 agonis jika diperlukan

b. Mild Persistent Ø Gejala > 2 kali perminggu tetapi tidak setiap hari
- Gejala malam > 2 kali per bulan
- Eksaserbasi dapat pengaruhi aktifitas ≥ 80%
Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
Inhalasi kromolin
Penambahan inhalasi kortikosteroid jika tidak adekuat

c. Moderate Persistent Ø Gejala setiap hari
- Gejala malam > 1 kali per minggu
- Eksaserbasi mempengaruhi aktifitas
- Gejala terus menerus 60 – 80% Inhalasi β2 agonis jika diperlukan
Inhalasi kortikosteroid
Penambahan teofilin oral

d. Severe Persistent Ø Aktifitas terbatas
- Gejala malam sering
- Eksaserbasi akut lebih sering < 60% Terapi diatas + Kortikosteroid oral

Penatalaksanaan Asma Akut pada Kehamilan
Serangan asma akut sangat berbahaya dan harus ditangani dengan serius untuk mencegah jatuhnya penderita ke dalam status asmatikus. Data yang diperoleh dari kematian ibu di United Kingdom, tercatat tiga kematian akibat asma dari tahun 1994 – 1996. Status asmatikus dalam kehamilan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan janin yang terhambat, mortalitas ibu dan janin, juga morbiditas janin.
Sangat penting untuk wanita hamil penderita asma untuk tidak terlambat mendapat pengobatan selanjutnya jika terdapat tanda-tanda berikut :

  • Pengobatan tidak memperlihatkan perbaikan yang cepat.
  • Perbaikan tidak menetap.
  • Terjadi perburukan.
  • Episode adalah berat.
  • Terjadi penurunan gerakan janin.
Langkah penatalaksanaan asma akut pada kehamilan :
1. Pemeriksaan terhadap Penderita
Penatalaksanaan asma akut dalam kehamilan dimulai dengan pemeriksaan yang teliti. Dari anamnesa didapat mengenai berapa lama sudah terjadi serangan, apakah ada tanda-tanda infeksi pernafasan, pengobatan terdahulu terutama teofilin dan kortikosteroid, serta riwayat gagal nafas dan intubasi.
Dari pemeriksaan fisik didapat penggunaan otot asesori, pulsus paradoxus > 12 mmHg, tidak dapat berada dalam posisi tidur, pulsasi nadi > 120 kali permenit dan laju pernafasan > 30 kali permenit.
Pengukuran aliran ekspirasi (PEFR atau FEV1) dan analisa gas darah arteri harus didapatkan pada wanita hamil dengan serangan asma akut. (nilai normal PEFR > 200 liter/menit atau FEV1 > 1 liter/menit). Nilai saturasi oksigen < 95% biasanya menandakan PO2 < 60 mmHg. Karena itu jika nilai saturasi oksigen < 95 mmHg maka analisa gas darah arteri harus diperoleh.

2. Terapi Emergensi
Diberikan terapi oksigen 3 – 4 liter/menit dengan nasal cannula untuk mempertahankan Pa O2 > 70 mmHg. Pemberian cairan intra vena yang mengandung glukosa jika pasien tidak hiperglikemi dapat diberikan. Inhalasi β2 agonis (terbutalin 2 mg) adalah pilihan bronkodilator untuk asma akut pada wanita hamil seperti terhadap pasien yang tidak hamil. Pemberian inhalasi dapat diulang sampai 3 kali, dengan jarak 20 – 30 menit. β2 agonis subkutan (terbutalin 0,25 mg) dapat diberikan jika pemberian inhalasi tidak menunjukkan perbaikan. Kortikosteroid parenteral yaitu metilprednisolon harus diberi pada pasien yang sebelumnya diterapi dengan kortikosteroid. Juga diberi pada penderita yang tidak respon terhadap β2 agonis setelah 1 jam pemberian dan menunjukkan obstruksi yang berat (PEFR < 200 liter/menit atau FEV1 <40% nilai prediksi). Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kg BB metilprednisolon setiap 6 – 8 jam.

Status asmatikus dan gagal nafas
Pada asma yang berat dimana tidak respons terhadap terapi intensif setelah 30 – 60 menit dikatagorikan stats asmatikus. Harus diberikan intubasi lebih awal ketika status pernafasan ibu bertambah buruk seperti lemah, retensi kabondiosida dan hipoksemia hal tersebut menandakan harus diberikan ventilasi mekanik.

Penanganan Asma Selama Proses Melahirkan
Penanganan asma yang baik bagi penderita asma selama kehamilan membuat tidak adanya gejala asma selama melahirkan. Pada suatu penelitian oleh ahli asma Kalifornia pada 120 kasus wanita asma yang hamil dan terkontrol baik, terdapat 90% wanita asma yang hamil menunjukan tidak adanya gejala selama melahirkan, 2,2% mengalami serangan ringan dan 0,2% mengalami serangan asma berat.
Mereka yang memperlihatkan gejala biasanya hanya memerlukan inhalasi bronkodilator. Jika respon jelek maka diberikan metil prednisolon intravena. Untuk penderita yang mendapat kortikosteroid secara reguler atau yang sering mendapatkannya selama kehamilan, penambahan kortikosteroid parenteral direkomendasikan untuk stres selama persalinan dan kelahiran yaitu 100 mg hidrokortison intravena sewaktu mulai persalinan dan diteruskan dengan 100 mg intravena setiap 8 jam selama 24 jam atau sampai tidak ditemukan komplikasi. Dianjurkan untuk melanjutkan terapi profilaksis yang biasanya didapat (kromolin, inhalasi kortikosteroid atau teofilin) selama persalinan. Dari data tersebut tidak ada peningkatan induksi persalinan, penggunaan forseps atau seksio sesaria darurat untuk wanita penderita asma, tapi operasi elektif lebih sering. Penderita asma yang sangat berat dianjurkan untuk operasi elektif pada waktu kontrol asmanya baik.
Prostaglandin E2 aman digunakan untuk induksi persalinan dan kontraksi uterus. Penggunaan prostglandin F2α didindikasikan untuk perdarahan postpartum tetapi dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Penggunaannya untuk induksi persalinan dan menstimulasi kontraksi uterus postpartum harus di hindarkan. Sebagai alternatif, oksitosin dapat diberikan karena tidak menyebabkan bronkokonstriksi.
Wanita penderita asma dapat menggunakan semua jenis penghilang rasa sakit selama persalinan, termasuk analgesia epidural. Jika dibutuhkan anestesi, akan lebih baik menggunakan analgesia epidural daripada anestesi umum, karena anestesi umum dapat meningkatkan resiko infeksi paru dan atelektasis.