Rabu, 28 September 2011

TINEA KAPITIS


TINEA KAPITIS


I. PENDAHULUAN
Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur superfisial pada kulit kepala, bulu mata dengan kecenderungan menyerang tangkai rambut dan folikel – folikel rambut. Penyakit ini termasuk kepada mikosis superfisialis atau dermatofitosis. Beberapa sinonim yang digunakan termasuk ringworm of the scalp dan tinea tonsurans. Di Amerika Serikat dan wilayah lain di dunia insiden dari tinea kapitis meningkat.(1)
Dermatofitosis mempunyai beberapa gejala klinik yang nyata, tergantung pada letak anatomi dan etiologi agents. Secara klinis dermatofitosis terdiri atas tinea kapitis, tinea favosa (hasil dari infeksi oleh Trichophyton schoenleinii), tinea corporis ( ringworm of glabrous skin ), tinea imbrikata ( ringworm hasil infeksi oleh T. concentrikum ), tinea unguium ( ringworm of the nail ), tinea pedis ( ringworm of the feet ), tinea barbae ( ringworm of the beard ) dan tinea manum ( ringworm of the hand).(1)
Di klinis tinea kapitis ditemukan berbeda – beda dari dermatofitosis non inflamasi dengan sisik mirip dermatitis seboroik sampai inflamasi dengan lesi bersisik yang eritematous dan kerontokan rambut atau alopesia dan dapat berkembang menjadi inflamasi yang berat berupa abses yang dalam disebut kerion, ysng mempunyai potensi menjadi jaringan parut dan menyebabkan alopesia yang menetap. Keadaan penyakit ini tergantung pada interaksi antara host dan agen penyebab.(1)

II. DEFINISI
Tinea kapitis adalah infeksi dermatofita pada kulit kepala, alis mata dan bulu mata yang disebabkan oleh spesies dari genus Microsporum dan Trichophyton.(2)

III. SINONIM
Ringworm of the scalp and hair, tinea tonsurans, herpes tonsurans.(3)

IV. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh spesies dermatofita dari genus Trichophyton dan Microsporum, misalnya T. violaceum, T. gourvilii, T. mentagrophytes, T. tonsurans, M. audoinii, M. canis, M. ferrugineum.(4)

V. EPIDEMIOLOGI
Tinea kapitis adalah infeksi jamur yang mengenai anak – anak berumur antara 4 dan 14 tahun. Walaupun jamur patogen yang terlibat banyak, Trichophyton tonsurans menjadi penyebab lebih dari 90% kasus di Amerika Utara dan United Kingdom. Kasus – kasus di perkotaan biasanya didapatkan dari teman – teman atau anggota keluarga. Kepadatan penduduk, hygien yang buruk dan malnutrisi protein memudahkan seseorang mendapatkan penyakit ini. Kasus – kasus yang disebabkan oleh Microsporum canis jarang terjadi dan di dapat dari anak anjing dan anak kucing.(5)

VI. INSIDENSI
Di Amerika Serikat, kejadian penyakit ini tidak lama tercatat oleh badan kesehatan masyarakat, karena kebenaran insiden tidak di ketahui. Laporan insiden tertinggi ditemui pada anak usia sekolah di Amerika dan Afrika.(1)
Tinea kapitis terjadi lebih dari 92,5 % dari dermatofitosis pada anak – anak berumur kurang dari 10 tahun. Penyakit ini jarang pada orang dewasa. Meskipun kejadiannya mungkin dapat dijumpai pada pasien – pasien tua. Tinea kapitis insidennya tersebar luas di beberapa daerah perkotaan di Amerika Serikat.(1)
Di dunia internasional tinea kapitis tersebar luas di beberapa daerah perkotaan di Amerika Utara, Sentral Amerika dan Amerika Selatan, terdapat juga sebagian di Afrika dan India.(1)
Di Asia Tenggara, angka infeksi telah dilaporkan menurun cepat dari 14 % ( rata – rata dari anak perempuan dan laki – laki ) sampai 1,2 % pada 50 tahun terakhir karena keadaan sanitasi umum dan hygien perorangan telah membaik. Di Selatan Eropa penyakit ini jarang. (1)

VII. GEJALA KLINIK
Di dalam klinik tinea kapitis dapat di lihat sebagai 3 bentuk yang jelas ( RIPPON, 1970 dan CONANT dkk, 1971 ).(2)

1. Grey patch ringworm.
Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak – anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.(2)(6)
Tempat – tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch yang di lihat dalam klinik tidak menunjukkan batas – batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan dengan lampu wood dapat di lihat flouresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit melampaui batas – batas grey tersebut. Pada kasus – kasus tanpa keluahan pemeriksaan dengan lampu wood ini banyak membantu diagnosis ( RIPPON, 1974 ). Tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum audouinii biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya sekali – sekali dapat terbentuk kerion.(2)(6)

2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum caniis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak kurang bila penyebabnya adalah Trichophyto violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap, parut yang menonjol kadang – kadang dapat terbentuk.(2)(6)

3. Black dot ringworm
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang di sebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot, Ujung rambut yang patah kalau tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah permukaan kulit.(2)
Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapatkan bahan biakan jamur ( RIPPON, 1974 ).(2)
Tinea kapitis juga akan menunjukkan reaksi peradangan yang lebih berat, bila disebabkan oleh Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton verrucosum, yang keduanya bersifat zoofilik. Trichophyton rubrum sangat jarang menyebabkan tinea kapitis, walaupun demikian bentuk klinis granuloma, kerion , alopesia dan black dot yang disebabkan Trichophyton rubrum pernah di tulis ( Price dkk, 1963 )(2,6)


VIII. DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan dengan lampu wood dan pemeriksaan mikroskopik rambut langsung dengan KOH. Pada pemeriksaan mikroskopik akan terlihat spora di luar rambut ( ektotriks ) atau di dalam rambut ( endotriks ).(4)
Diagnosis laboratorium dari dermatofitosis tergantung pada pemeriksaan dan kultur dari kikisan lesi. Infeksi pada rambut ditandai dengan kerusakan yang ditemukan pada pemeriksaan. Lesi dapat dilepaskan dengan forsep tanpa disertai dengan trauma atau dikumpulkan dengan potongan – potongan yang halus dengan ayakan halus atau sikat gigi.(1)
Sampel rambut terpilih di kultur atau dilembutkan dalam 10 – 20 % potassium hydroxide ( KOH ) sebelum pemeriksaan di bawah mikroskop. Pemeriksaan dengan preparat KOH ( KOH mount ) selalu menghasilkandiagnosa yang tepat adanya infeksi tinea.(1)(3)
Pada pemeriksaan lampu wood didapatlkan infeksi rambut oleh M. canis, M.ferrugineum, akan memberikan flouresensi cahaya hijau terang hingga kuning kehijauan. Infeksi rambut oleh T. schoeiileinii akan terlihat warna hijau pudar atau biru keputihan, dan hifa didapatkan di dalam batang rambut. Pada rambut sapi T. verrucosum memperlihatkan fluoresensi hijau tetapi pada manusia tidak berfluoresensi.(1)(6)
Ketika diagnosa ringworm dalam pertimbangan, kulit kepala diperiksa di bawah lampu wood. Jika fluoresensi rambut yang terinfeksi biasa, pemeriksaan mikroskopik cahaya dan kultur. Infeksi yang disebabkan oleh spesies microsporum memberikan fluoresensi warna hijau.(1)

IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa dari tinea kapitis, khususnya pada anak – anak memberi kesan eritematous, tambalan sisik dan alopesia. Rambut rapuh dan tak bercahaya , infiltrat, lesi ulserasi dapat menjadi tanda. Dermatitis seboroik, psoriasis, lupus erytrematosus, alopesia areata, impetigo, trikotilomania, pyoderma, folikulitis decalcans dan sifilis sekunder adalah merupakan pertimbangan diferensial diagnosa. Pemeriksaan dengan KOH setiap bulan menentukan kepantasan diagnosa jika hal itu sebuah tinea.(1)
Pada dermatitis seboroik, rambut yang terlibat lebih difus, rambut tidak rapuh dan kulit kepala merah , bersisik dan gatal. Dermatitis seboroik dan penyakit berskuama kronik lain seperti psoriasis dapat menyebabkan pengumpulan sisik menjadi massa padat di kulit kepala. Kondisi ini disebut pitiriasis amiantacea. Sisik lebih kasar pada psoriasis tetapi tidak rapuh. Impetigo sulit dibedakan dengan inflamasi ringworm, tetapi akhirnya nyeri lebih parah. Alopesia areata dapat agak eritematous pada tahap awal penyakit ini tetapi dapat kembali normal seperti warna kulit.(2)

X. TERAPI
Pengobatan dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958. GENTLES ( 1958 ) dan MARTIN ( 1958 ) secara terpisah melaporkan, bahwa griseofulvin peroral dapat menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Sebelum zaman griseofulvin pengobatan dermatofitosis hanya dilakukan secara topikal dengan zat – zat keratolitik dan fungistatik.(1)(3)
Pada masa sekarang dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik.(1)
Griseofulvin akan terkumpul pada lapisan keratin pada rambut, kuku menimbulkan resistensi terhadap invansi jamur, namun pengobatan harus berlangsung dalam waktu lama karena waktu yang dibutuhkan griseofulvin untuk menghasilkan lapisan keratin yang resisten cukup lama sekitar 4 – 6 minggu. Griseofulvin menimbun keratin berlapis – lapis di rambut dan kuku, membuat mereka menjadi resisten terhadap invasi jamur. Terapi infeksi keratin memerlukan waktu yang cukup lama dan kontinu agar dapat digantikan oleh keratin yang resisten, biasanya 4 – 6 minggu. Pada lesi yang mengalami peradangan, kompres sering diperlukan untuk membersihkan pus dan sisik-sisik infeksi. Kemajuan terapi di monitor dengan pemeriksaan klinik yang rutin dengan bantuan lampu wood untuk fluoresensi dari spesies seperti M. audouinii dan M. canis.(1)(4)
Beberapa anti mikotik terbaru termasuk itraconazol, terbinafine, dan fluconazol, telah dilaporkan sebagai obat yang efektif dan aman. Pengobatan yang efektif dan aman untuk tinea kapitis dengan infeksi endotriks spesies termasuk T. tonsurans, itraconazol digunakan secara teratur regimen denyut dengan kapsul ( 5 mg/.kg/hari selama 1 minggu, 3 denyut dalam 3 minggu terbagi), dan itraconazol regimen denyut dengan oral solution ( 3 mg/kg/hari untuk 1 minggu, 3 denyut, ie, dalam 1 minggu perbulan ).(1)
Terbinafine tablet dengan dosis 3 – 6 mg/kg/hari digunakan ± 2 – 4 minggu dan telah berhasil digunakan untuk T. tonsurans.M. canis relatif resisten untuk jenis obat ini, tetapi obat ini merupakan terapi yang efektif jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Petunjuk umum untuk tinea kapitis dengan BB > 40 kg ( 250 mg / hari ), Untuk BB 20 – 40 kg ( 125 mg / hari), Untuk BB 10 – 20 kg ( 62,5 mg / hari ) selama 2 – 4 minggu.(1)
Tablet fluconazol atau suspensi oral ( 3 – 6 mg / kgbb/ hari ) diatur untuk 6 minggu. Dalam suatu pengobatan lebih dari seminggu ( 6 mg /kg/ hari ) dapat di atur jika indikasi klinik ditemukan pada saat itu.(1)
Pada infeksi ektotriks ( misalnya M. audouinii, M. canis ), pengobatan dalam jangka yang lama diharuskan. Meskipun ketoconazol oral dapat di terima sebagai alternatif lain dari griseofulvin tetapi tidak dapat dipercaya sebagai terapi pilihan karena resiko hepatotoksik dan biayanya yang mahal.(1)
Oral steroid dapat membantu mengurangi resiko dan meluasnya alopesia yang permanen pada terapi kerion. Hindari penggunaan kortikosteroid topikal selama terapi infeksi dermatofitosis.(1)

II. DIAGNOSIS BANDING
Sebagai diagnosis banding ialah
1. Piebaldisme
2. Sindrom Wardenburg dan Sindrom Woolf.
3. Vitiligo segmental perlu dibedakan dengan nevus depigmentosus, tuberosklerosis, hipomelanositosis
4. Lesi tunggal harus dibedakan dengan tinea versikolor, pitiriasis alba, hipomelanosis gutata dan hipopigmentasi pasca inflamasi.

III. PENGOBATAN
Umum
1. Seseorang yang akan mengobati vitiligo, harus mengenal dan mengetahui beberapa hal misalnya : tentang sifat dan biologi sel melanosit, tentang farmakologi obat – obat yang digunakan, prinsip - prinsip terapi sinar, resiko serta hasilnya.
2. Penderita vitiligo perlu periksa KGD.
3. Pada lesi, oleh karena mudah terbakar sinar matahari, dianjurkan memakai tabir surya.
4. Melanosit sangat lamban dalam merespon pengobatan, untuk mencapai hasil yang optimal terapi harus dilanjutkan sampai 6 – 12 bulan.
Khusus
Tidak ada terapi yang memuaskan, bila perlu dianjurkan untuk penggunaan kamufalse agar kelainan tersebut tertutup dengan cover mask.
Psoralen (PUVA)
Bahan aktif yang sering digunakan adalah trimetoksi psoralen (TPM) dan 8 metoksi psoralen yang bersifat photosensitizer.
Cara pemberian : Obat psoralen 20-30 mg (0,6 mg/kgBB) dimakan 2 jamsebelum penyinaran, selama 6 bulan sampai setahun. Obat psoralen topikal dioleskan lima menit sebelum penyinaran, tetapi sering menimbulkan dermatitis kontak iritan .
Lama Penyinaran : mula-mula sebentar kemudian setiap hari dinaikan perlahan – lahan ( antara ½ samapai 4 menit ). Ada yang menganjurkan pengobatan dihentikan seminggu setiap bulan.
Obat psoralen topikal dioleskan lima menit sebelum penyinaran, tetapi sering menimbulkan dermatitis kontak iritan .
Kontra indikasi : hipertensi, gangguan hati, kegagalan ginjal dan jantung.
Helioterapi
Helioterapi merupakan salah satu bentuk fotokemoterapi, yang merupakan gabungan antara trisoralen dan sinar matahari
Prosedur pelaksanaan :
- Trisoralen diberikan dengan dosis 0,3mg/kgBB, kemudian lesi disinari selama 15 menit.
- Obat dimakan 2-4 jam sebelum penyinaran
- Pengobatan diberikan 2-3 kali setiap minggu tidak boleh dua hari berturut – turut
- Tidak dianjurkan memberikan terapi vitiligo di daerah genitalia, kecuali pada keadaan khusus.
Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid ini kemungkinan didasarkan pada teori rusak diri maupun teori autoimun. Dalam hal ini kortikosteroid dapat memperkuat mekanisme pertahanan tubuh pada auto destruksi melanosit atau menekan perubahan imunologik.
Penggunaan kortikosteroid topikal dapat dilakukan dengan prosedur Drake dkk :
a. Krim kortikosteroid (KST) dioleskan pada lesi sekali sehari selama 3-4 bulan.
b. Setiap minggu sekali dilakukan evaluasi dengan menggunakan lampu Wood.
c. Penggunaan diteruskan apabila ada repigmentasi, namun harus segera dihentikan apabila tidak ada respons dalam waktu 3 bulan.
Depigmentasi
Jika lesi vitiligo sangat luas, jauh lebih luas dari kulit normalnya (lebih dari 50%) ada yang menganjurkan untuk memberikan monobenzil hidrokuinon 20% dua kali sehari pada kulit normal sehingga terjadi bleaching dan diharapkan warna kulit menjadi sama.
Tindakan Bedah
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologous skin graft yakni memindahkan kulit yang normal (2-4 mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin timbul antara lain parut, repigmentasi yang tidak teratur, Koebnerisasi dan infeksi
UVB Gelombang Pendek
Sinar ultraviolet B gelombang pendek adalah teknologi yang relative baru dalam pengobatan vitiligo. Dahulu kebanyakan dokter menggunakan sistem PUVA namun efek samping tidak dapat dihindarkan. Panel dan kabinet sinar UVB gelombang pendek memecahkan masalah paparan berlebihan sinar UV dengan memaksimalkan pengiriman radiasi UVB gelombang pendek (dalam kisaran 311 sampai 312 nanometer).
Jarak optimum kulit ke lampu UV adalah 7 inchi, waktu pemaparan tergantung warna kulit dan telah berapa mendapatkan pengobatan.
UVB gelombang pendek hanya memancarkan sinar 311 sampai 312 nanometer. Studi klinis menunjukkan panjang gelombang yang paling efektif bersifat therapeuik adalah 295 sampai 313 nanometer, namun panjang gelombang dibawah 300 nm dapat menyebabkan eritema atau luka bakar parah dan meningkatkan resiko kanker kulit.
UVB gelombang pendek lebih efektif untuk penanganan vitiligo anak-anak.

I. PROGNOSIS
· Biasanya merupakan keadaan yang bersifat progesif lambat.
· Dapat berkurang secara spontan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardiman Lili, Kelainan pigmen “Vitiligo”, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, Hal:274-76
2. Siregar, R.S, Prof, Dr, Vitiligo dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2004, Hal:252-53
3. Harahap Marwali, Prof, Dr, Vitiligo dalam Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta 2000, Hal 151-56
4. Ovedoff D., Kapita Selekta Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 2002, 91-92
5. Vittiligo, Available at, www.Mayoclinic.com.vitiligo
6. Vitiligo, Available at, www.Emedicine.com.vitiligo

COR-PULMONALE CHRONICUM (CPC)


COR-PULMONALE CHRONICUM (CPC)



PENGERTIAN
Kor pulmonal merupakan suatu keadaan dimana timbul hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tanpa atau dengan gagal jantung kanan; timbul akibat penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru-paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini menyatakan bahwa penyakit jntung kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak bertanggung jawab atas patogenesis kor pulmonale. Kor pulmonale bisa terjadi akut (contohnya, emboli paru-paru masif) atau kronik.

PATOFISIOLOGI
Fungsi Normal dari Sirkulasi Paru-paru.
Sirkulasi paru-paru terletak diantara ventrikel kanan dan kiri untuk tujuan pertukaran gas. Dalam keadaan normal, aliran darah dalam anyaman vaskuler paru-paru tidak hanya tergantung dari ventrikel kanan tetapi juga dari kerja pompa pada pergerakan pernapasan. Karena sirkulasi paru-paru normal merupakan sirkulasi yang bertekanan dan resistensi rendah; maka curah jantung dapat meningkat sampai beberapa kali (seperti yang terjadi pada waktu latihan fisik) tanpa peningkatan bermakna dari tekanan arteria pulmonalis. Keadaan ini dapat terjadi karena besarnya kapasitas anyaman vaskuler paru-paru, dimana perfusi normal hanya 25% dalam keadaan istirahat, serta kemampunan untuk menggunakan lebih banyak pembuluh sewaktu latihan fisik.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonale adalah penyakit yang secara primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan penyakit yang mengganggu aliaran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif atau restriktif. PPOM terutama jenis bronkitis, merupakan penyebab tersering dari kor pulmonale. Penyakit-penyakit pernapasan restriktif yang menyebabkan kor pulmonal dapat berupa penyakit-penyakit ”intrinsik” seperti fibrosis paru-paru difus, dan kelainan ”ektrinsik” seperti obesitas yang ekstrim, kifoskoliosis, atau gangguan neuromuskuler berat yang melibatkan otot-otot pernapasan. Akhirnya, penyakit vaskuler paru-paru yang mengakibatkan obstruksi terhadap aliran darah dan kor pulmonale cukup jaran terjadi dan biasanya merupakan akibat dari emboli paru-paru berulang.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskuler paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskuler paru-paru pada arteria dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru-pru adalah :
1. Vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru.
2. Obstruksi dan/atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru.
Mekanisme yang pertama tampaknya paling penting dalam patogenesis kor pulmonale. Hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis yang merupakan ciri khas dari PPOM bronkitis lanjut adalah contoh yang paling baik untuk menjelaskan bagaimana kedua mekanisme itu terjadi. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang lebih kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonar daripada hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hiperkapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnea, juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru-paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkann resistensi vaskuler dan tekanan arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Emfisema dicirikan oleh kerusakan bertahap dari struktur alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesis kor pulmonale. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-ventilasi.

MANIFESTASI KLINIS.
Diagnosis kor pulmonale terutama berdasarkan pada dua kriteria yaitu:
1 Adanya penyakit pernapasan yang disertai hipertensi pulmonl.
2 Bukti adanya hipertrofi ventrikel kanan.
Adanya hipoksemia menetap, hiperkapnea, dan asidosis atau pembesaran ventrikel kanan pada radiogram menunjukan kemungkinan penyakit paru-paru yang mendasarinya. Adanya emfisema cenderung mengaburkan gambaran diagnosis kor pulmonale. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa kor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, siknop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung. Tanda-tanda fisik dari hipertensi pulmonal berupa kuat angkat sistolik pada area parasternal, mengerasnya bunyi pulmonik kedua,dan bising akibat insufisiensi katup trikispidalis dan pulmonalis, irama gallop (S3 dan S4) distensi vena jugularis dengan gelombang A yang menonjol, hepatomegali, dan edema perifer dapat terlihat pada pasien dengan gagal ventrikel kanan.

PENATALAKSANAAN.
Penanganan kor pulmonle ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar (dan vasokontriksi paru-paru yang diakibatkanya) dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmonal, polisitemia, dan takipnea; memperbaiki keadaan umum, dan mengurangi mortalitas (kersten,1989). Bronkodilator dan antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien-pasien PPOM (COPD). Pembatasan cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gaagal ventrikel kanan. Terapi antikoagulansia jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli paru-paru berulang.

Pustaka :

A. Price Sylvia, M. Wilson Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 2, EGC, Jakarta, 1995.