POLIOMIELITIS
PENDAHULUAN
Poliomielitis disebut
juga acute anterior poliomyelitis, infantile paralysis, penyakit heine dan
medin. Poliomyelitis merupakan suatu penyakit menular akut, pertama kali
ditemukan oleh heine pada tahun 1840 dengan mengumpulkan beberapa kasus
poliomyelitis di jerman dan stockholm pada tahun 1980 mengemukakan gambaran
epidemi poliomyelitis. Atas jasa-jasa penemuan kedua sarjana ini maka penyakit
tersebut disebut juga penyakit heine dan medin.
Pada tahun 1908
landsteiner dapat menimbulkan kelumpuhan pada kera dengan penyuntikan
intraperitoneal jaringan sum-sum tulang belakang penderita yang meninggal
akibat penyakit poliomyelitis. Tahun 1910 sifat virus yang fitrabel dapat
dibuktikan.
DEFINISI
Poliomyelitis adalah
suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan
mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis,
batang otak ( dapat pula mengenai mesensefalon, serebelum, ganglia basal ) dan
area motorik kortex cerebri.
EPIDEMIOLOGI
Goar ( 1955 ) dalam
uraiannya tentang poliomyelitis di negara yang baru berkembang dengan sanitasi
yang buruk berkesimpulan bahwa di daerah-daerah tersebut pada epidemi
poliomielitis ditemui 90 % pada anak-anak dibawah umur 5 tahun. Ini disebabkan
penduduk telah mendapat infeksi atau imunitas pada masa anak, poliomielitis
jarang ditemukan pada orang dewasa .
Di indonesia, pemerintah mencanangkan
tujuan akhir program imunisasi menjelang tahun 2000 adalah eradikasi polio,
eliminasi tetanus neonatorum, dan reduksi campak. Dengan tidak ditemukannya
virus polio liar dalam tinja penderita acute flaccid paralysis atau lumpuh layu
akut melalui survailans AFP pada tahun-tahun berikutnya diperkirakan tahun
2003, Badan Kesehatan Dunia bisa menyatakan indonesia sudahtermasuk negara yang
bebas polio ( sertifikat bebas polio ). Namun bangsa indonesia dikejutkan
dengan kejadian luar biasa di sukabumi ( 2005 ) dengan ditemukannya virus virus
polio liar sebagai penyebab lumpuh layu akut.
ETIOLOGI
Virus polio adalah virus
RNA yang termasuk kelompok anterior virus dan famili fikorna virus. Virus ini
juga termasuk dalam virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus yang fitrabel,
tipe III ( leon ).
Ketiga jenis polio
tersebut berbeda satu ama lainnya dan yang paling virulen tipe I. Virus polio
tehan terhadap pengaruh fisik dan bahan kimia ( alkohol dan lisol ) namun peka
terhadap formaldehide. Ketahanan virus di tanah dan air tergantung pada
kelembaban dan suhu. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air
permukaan, bahkan dapat sampai berkilometer dari sumber penularan, sedangkan dalam
tinja tahan sampai berbulan-bulan.
Faktor yang mempengaruhi keganasan virus
polio antara lain :
Jenis virus
Usia
Genetik
Aktifitas fisik
Trauma
Tonsilektomi
PATOGENESA
Poliomyelitis merupakan
penyakit yang sangat menular, virus masuk kedalam tubuh melalui saluran
nasofaring setelah ditularkan melalui fekal-oral. Timbulnya penyakit polio
dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi pada daerah tenggorokan dan
mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau tindakan
penyuntikan suattu vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat/kelelahan.
Setelah masuk kedalam
tubuh, virus akan berkembang biak ( Multiplikasi ) di jaringa limfoid tonsil
atau pada plak peyeri dinding usus dan melaui darah akan tersebar keseluruh
tubuh ( viremia ).
Viremia ini tidak akan
menimbulkan ( asimtompatik ) atau hanya sakit ringan saja. Diduga pada
kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus dapat mencapai sistim saraf
secara langsung melalui darah atau secara retrogard melalui saraf tepi atau
saraf simpatetik atau ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi atau
jaringan ekstra neoral yang lain.
GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi yang tidak
diketahui dengan pasri diperkirakan 7-14 hari. Gejala klinik bermacam-macam dan
digolongkan sebagai berikut :
1. Jenis
asimptomatis
Bila tidak ada gejala
apa-apa, diduga jenis ini banyak terdapat waktu epidemi.
2. Jenis
abortive
Bila hanya di dapat
gejala-gejala prodormal, sering kali gejala intestinal seperti Anoreksia, mual,
konstipasi, nyeri abdomen, disertai nyeri tenggorokan, demam ringan dan sakit
kepala.
3. Jenis non paralitk
Bila terdapat tanda-tanda
rangsangan meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu naik sampai 38-39oC
disertai sakit kepala dan nyeri otot-otot. Kesadaran tetap baik, tetapi mungkin
penderita mengantuk dan gelisah. Pada pemeriksaan didapati: kekakuan pada kuduk
dan punggung disertai tanda kernig, Brudzensky dan laseque yang positif,
refleks tendon biasanya tidak berubah. Bila penderita di tegakkan kepala akan
terjatuh kebelakang (“head drops”). Bila anak berusaha duduk dari sikap tidur
maka kedua lututnya ditekuk dengan menunjang kebelakang dan terlihat kekakuan
otot spinal (tripod sign).
4. Jenis paralitik
gejala seperti diatas,
kemudian disertai kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah stadium
preparalitik. Mula-mula otot yang terkena terasa nyeri dan spastik, kemudian
paralitik.
Sesuai tinggi lesi pada susunan syaraf
pusat yang terkena, dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Bentuk
spinal
Bila mengenai sel motorik
kornu anterior medula spinalis terjadi kelumpuhan otot leher, tubuh, diafragma,
thorak, dan ekstremitas bawah. Yang paling sering adalah otot besar pada
tungkai bawah terutama m. Quadrisep femoris. Umumnya penyebaran otot yang
lumpuh tidak simetris dan tidak didapati gangguan sensorik, reflek tendon
menurun atau menghilang.
2. Bentuk
bulber
Bila mengenai inti
motorik dibatang otak, timbul gangguan 1 atau lebih syaraf otak dengan atau
tanpa gangguan pusat vital yaitu sistem pernafasan dan sirkulasi.
3. Bentuk
bulbospinal
yaitu campuran bentuk
bulber dan spinal.
4. Bentuk
encephalitik atau polio encephalitik.
Bila mengenai cerebrum,
ditandai penurunan kesadaran sampai dengan delirium, tremor, dan kadang-kadang
kejang.
5. Bentuk cereberal
Ditandai adanya ataksia
dengan atau tanpa kelumpuhan. Kelumpuhan otot akan berkurang sampai beberapa
bulan dalam masa konvalensi setelah 6 bulan sampai beberapa tahun. Otot-otot
yang lumpuh tidak dapat sembuh lagi. Ketidakseimbangan otot-otot antagonis
menyebabkan deformitas.
LABORATORIUM
Virus polio dapat
diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan dari apusan tenggorokan, darah, liquor,
dan feses. Pemeriksaan liquor cerebrospinalis menunjukan adanya pleositosis,
kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit normal,
jumlah sel berkisar antara 10-3000/mm3 sedangkan tekanan tidak
meningkat. Pada stadium preparalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan
leukosit PMN tetapi setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit.
Peningkatan jumlah sel
mencapai puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2
sampai 3 minggu. Kadar protein LCS berkisar antara 30-120 mg/100ml pada minggu
pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100ml. Kadar protein yang meninggi akan
bertahan selama 3 sampai 4 minggu.
DIFFERENSIAL DIAGNOSA
1.
Meningitis TBC (karena gejalanya mirip
dengan gejala poliomielitis nonparalitik).
2.
Sindroma Guillain-Barre (SGB tidak akut,
bilateral, simetris, lebih berat, pleositosis sedang, SGB kadar protein lebih
dulu meningkat)
3.
Mielitis tranversa
4.
Encephalitis
TERAPI
Tirah baring total harus
segera dilakukan pada penderita yang mengidap poliomielitis. Pada penderita
poliomielitis paralitik bentuk spinal selain tirah baring total dan pengobatan
simptomatis maka posisi ekstremitas harus pula diperhatikan untuk menghindari
terjadinya kontraktur. Lengan dan tangan dapat di beri splint sedang untuk
menghindari kulai kaki (drop foot) dapat diberikan papan penyangga pada telapak
kaki agar selalu dalam posisi dorsoflexi. Fisioterapi sebaiknya dilakukan
setelah 2 hari hilang demam. Bila terjadi kegagalan pernafasan maka diperlukan
respiratoar untuk membantu pernafasan dan apabila terjadi paralisis bulbaris
maka harus diperhatikan adalah kebutuhan cairan. Sekresi faring dapat
menyebabkan aspirasi, bila ada disfagia akan membutuhkan sonde lambung.
IMUNITAS
Imunisasi polio
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa
menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan atau
tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan otot-otot pernafasan dan otot
untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.
Terdapat 2 macam vaksin polio :
1.
IPV (Inaktivated Polio Vaccine, vaksin
salk) mengandung virus polio yang sudah dimatikan dan diberikan melalui
suntikan.
2.
OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin)
mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil
atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, dan
bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.
Imunisasi dasar polio
diberikan 4 kali (polio I, polio II, polio III, polio IV) dengan interval 4-6
minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV,
kemudian pada saat masuk SD dan pada saat meninggalkan SD.
Di Indonesia umumnya
diberikan vaksin sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 ml) langsung
kemulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula.
Kontraindikasi pemberian vaksin polio :
- Diare
berat
- Gangguan
kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid).
- Kehamilan.
- Efek
samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
Dosis pertama dan kedua
diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangakn dosis ketiga
dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat
yang tertinggi. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang
dewasa tidak perlu dilakukan pemberia booster secara rutin kecuali jika dia
hendak bepergian kedaerah endemik polio. Pada dewasa yang belum pernah
mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi sebaiknya diberikan
IPV.
Kepada orang yang pernah
mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV,
streptomicin, polimicin B atau neomicin, tidak boleh diberikan IPV, sebaiknya
diberikan OPV. Kepada penderita dengan gangguan sistem kekebalan (misalnya
penderita AIDS, infeksi HIV, leukimia, kanker, limfoma) dianjurkan untuk
diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi
penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya.
IPV bisa diberikan kepada
anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau
berat sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai benar-benar pulih. IPV
bisa menyebabkna nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan yang biasanya
berlangsung hanya beberapa hari. Kekebalan aktif didapatkan sesudah mendapatkan
infeksi asimptomatis atau pemberian vaksin polio. Vaksin anti polio ini ada 2
jenis yaitu salk dan sabin. Kekebalan pasif diperoleh dari ibu secara
transplasenta atau dengan pemberian gamma globulin.
ERADIKASI POLIO
Objektif dari Erapo (eradikasi polio)
adalah pemberantasan virus liar didunia.
Strategi Erapo terdiri atas 4 kegiatan
utama :
Pertama, cakupan
imunisasi yang tinggi. Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90 % untuk
kelompok anak dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral
sebanyak 4 kali pada usia 0,2,3,4 bulan sedangkan menurut PPI diberikan pada
usia 0-11 bulan dengan interval 4-6 minggu. Cakupan yang tinggi ini akan
menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan menyiapkan negara
tersebut untuk fase Eradikasi. Cakupan tinggi juga harus dipertahankan oleh
negara yang telah bebas polio sampai seluruh dunia bebas polio.
Kedua, hari/pekan
imunisasi nasional (PIN). Imunisasi masal dilakuakn secara serentak pada semua
anak dibawah 5 tahun dengan 2 putaran imunisasi dengan selang waktu 4 minggu.
Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan
populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin, mungkin
akibat disseminasi virus vaksin ke lingkungan dan ke anggota populasi lain.
Ketiga, surveilans
AFP (Acute Flacid Paralysis) atau lumpuh layu akut. Eradikasi membutuhkan
metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio
dimanapun didunia. Surveilans AFP bertujuan mendeteksi virus polio liar dan
meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus polio
tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan laboratory based
AFP bawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan epidemiologi
dengan cepat. Sampel tinja dikumpulkan secukupnya dengan selang waktu 24 jam
dan dikirim dalam keadaan dingin ke laboratorium. Virus yang ditemukan harus
dibedakan apakah virus liar atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan
pelacakan pada satu kasus AFP tiap tahun untuk setiap 100.000 anak dibawah 15
tahun.
Keempat, Mopping-up.
Imunisasi rutin dan PIN akan menurunkan transmisi virus pada tingkat terendah
yang hanya terjadi pada beberapa kantong saja. Apabila dapat dibuktikan adanya
transmisi virus dilingkungan maka dilakukan mopping-up didaerah tersebut yaitu
pemberian vaksin polio oral 2 putaran pada semua anak dibawah 5 tahun tanpa
memperdulikan status imunisasi dan dilakukan secara lengkap dari rumah ke
rumah. Rangkaian mata rantai yang panjang dari strategi Erapo bukanlah masalah
sederhana untuk dilaksanan, tenaga kesehatan yang kurang merata, kesadaran
sebagian masyarakat terhadap imunisasi belum memadai serta wlayah yang secara
geografis sulit dijangkau menyebabkan cakupan imunisasi belum memenuhi target.
Masalah ekonomi dan sosail politik dapat ikut berperan dalam ketidak pedulian
masyarakat terhadap kesehatan. Pengaruh Globalisasi memberi sumbangsih
importansi virus liar untuk memacu terjadinya kejadian luar biasa bila cakupan
imunisasi belum memadai.
DAFTAR PUSTAKA
·
Staf pengajar ilmu
kesehatan anak, Buku kuliah anak bagian I, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 1983.
·
Nelson WE, Measles,
Ilmu Kesehatan Anak bagian II, edisi 12, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar